Keseragaman telah lama menjadi simbol kekuatan dan identitas nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah menghadapi tantangan besar dalam mempersatukan beragam suku, agama, dan budaya di bawah satu bendera. Dalam konteks ini, keseragaman sering kali dianggap sebagai alat yang efektif untuk menumbuhkan rasa persatuan dan kebanggaan nasional.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berpendapat bahwa pakaian seragam bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) adalah salah satu cara untuk mempromosikan kesatuan dan identitas nasional yang kuat. Ketika seluruh anggota Paskibraka mengenakan seragam yang sama, pesan visual yang disampaikan adalah bahwa semua warga negara, terlepas dari latar belakang budaya dan agama mereka, berdiri tegak bersama untuk menghormati bendera dan negara. Keseragaman pakaian dianggap sebagai simbol persatuan yang memperkuat semangat kolektif kebangsaan. Namun, saya berpendapat bahwa keseragaman yang dipaksakan bisa menjadi ancaman bagi nilai-nilai individu dan keragaman budaya yang kita miliki. Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa, dan setiap perbedaan seharusnya tidak hanya diterima, tetapi juga dirayakan dan dilestarikan. Ketika keseragaman dipaksakan melalui seragam yang harus dikenakan oleh semua anggota Paskibraka, ada risiko bahwa identitas dan nilai-nilai individu yang beragam menjadi terpinggirkan. Menurut saya, penting bagi kita untuk mencari cara yang lebih inklusif dalam merayakan persatuan, yaitu dengan menghargai keragaman sebagai kekuatan yang memperkaya identitas nasional kita.
Dalam masyarakat modern yang semakin terhubung dan beragam, penting untuk menemukan keseimbangan antara keseragaman dan keberagaman. Keseragaman tidak seharusnya menjadi alat untuk menekan perbedaan, tetapi harus digunakan untuk memperkuat persatuan dalam keragaman. Negara harus berupaya menciptakan lingkungan di mana setiap warga negara merasa diterima dan dihargai, tanpa harus mengorbankan identitas dan nilai-nilai pribadi mereka.
Hak Asasi dan Keyakinan: Kebebasan Beragama di Tengah Kebijakan
Di tengah perdebatan ini, isu hak asasi manusia dan kebebasan beragama menjadi sorotan utama. Penggunaan jilbab bagi perempuan Muslim bukan sekadar pilihan pakaian, melainkan simbol keyakinan agama dan identitas spiritual yang dalam. Jilbab mewakili komitmen terhadap nilai-nilai Islam dan merupakan bagian integral dari identitas banyak perempuan Muslim di Indonesia.
Konstitusi Indonesia, yakni UUD Negara RI Tahun 1945, dengan tegas menjamin kebebasan beragama dan hak setiap individu untuk mengekspresikan keyakinannya. Dalam pandangan saya, kebijakan yang memaksa anggota Paskibraka untuk melepas jilbab selama acara resmi merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak tersebut. Kebijakan ini tidak hanya mengancam hak asasi individu untuk memilih pakaian yang mencerminkan keyakinan pribadi mereka, tetapi juga berpotensi menciptakan preseden buruk di mana negara terlihat mengintervensi ranah pribadi yang seharusnya dilindungi. Intervensi semacam ini dapat melemahkan prinsip kebebasan beragama dan ekspresi yang menjadi landasan demokrasi kita. Penting bagi kita untuk memastikan bahwa setiap individu dapat merayakan identitas dan keyakinan mereka tanpa merasa terancam atau dibatasi oleh aturan yang tidak mempertimbangkan keragaman budaya dan agama.
Kontroversi mengenai kebijakan pelepasan jilbab bagi petugas Paskibraka mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara keseragaman dan keberagaman. Keseragaman bisa menjadi simbol persatuan, tetapi tidak boleh mengorbankan hak asasi individu dan keragaman budaya yang memperkaya identitas nasional kita. Melalui dialog yang penuh toleransi dan saling menghormati, kita dapat menemukan cara untuk merayakan keragaman tanpa mengorbankan nilai-nilai persatuan dan kebangsaan.
Keberagaman adalah bagian integral dari identitas bangsa Indonesia, dan kita harus berupaya untuk menjaganya sambil memelihara semangat kebersamaan yang kuat. Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, menghargai perbedaan adalah kunci untuk membangun masa depan yang damai dan harmonis. Dengan merangkul keragaman, kita dapat memperkuat persatuan nasional dan membangun masyarakat yang inklusif
Penulis: Rani Yanti Ngabalin (Founder Pulih-Papua)
Harus nya para pencetus hijab harus di lepas saat menjadi seorang petugas paskibraka untuk kembali memahami apa itu Indonesia dan landasan UUD 1945 atau bahkan beliau sudah cukup tua untuk mengambil tindakan sehingga harusnya di pensiunkan. Agar di gantikan dengan orang yg LBH cakap di dalam lembaga negara, Beginilah Indonesia dimana keseragaman di tuntut sama padahal mereka lupa bahwa Indonesia merdeka karna bersatu dari semua perbedaan suku ras agama dan juga budaya, di tengah-tenggah isu sosial media yg kerap menjadi polemik penyebar isu agama hingga kini jika timbul hal semacam melepas hijab saat bertugas maka akan menguntungkan pihak separatis dan anarkis misionaris untuk menghasut elemen di Indonesia untuk memicu konflik yang baru.
Di tambah dengan masyarakat yg kian muak dengan pemerintah yg LBH perduli pada elit negara dari pada masyarakat itu sndiri.
Hadehh…isu tentang teguran msarakat kurangin makan nasi aja blm beres ini di tambah isu lepas hijab gimana sih pemerintah.